Sunday, January 22, 2017

ASUHAN KEPERAWATAN INTRAOPERATIF

ASUHAN KEPERAWATAN INTRAOPERATIF

Fase intraoperatif adalah suatu masa di mana pasien sudah berada di meja pembedahan sampai ke ruang pulih sadar. Asuhan keperawatan intraoperatif merupakan salah satu fase asuhan yang dilewati pasien bedah dan diarahkan pada peningkatan keefektifan hasil pembedahan.
Pengkajian yang dilkukan perawat introperatif lebih kompleks dan harus dilakukan secara cepat dan ringkas agar dapat segera dilakukan tindakan keperawatan yang sesuai. Kemampuan dalam mengenali masalah pasien yang bersifat risiko atau aktual akan di dapatkan berdasarkan pada tujuan yang diprioritaskan. Koordinasi seluruh anggota tim intraoperatif, dan melibatkan tindakan independen dan dependen.
PATOFISIOLOGI KE MASALAH KEPERAWATAN
Pada fase intraoperatif, pasien akan mengalami berbagai prosedur. Prosedur pemberian anestesi, pengaturan posisi bedah, manajemen asepsis, dan prosedur tindakan invasif akan memberikan implikasi pada masalah keperawatan yang akan muncul. Peran (lanjut ke peta konsep) perawat intraoperatif adalah berusaha untuk meminimalkan risiko cedera dan risiko infeksi yang merupakan dampak yang akan terjadi dari setiap prosedur bedah.
Pada pelaksanaannya, proses keperawatan intraoperatif membutuhkan persiapan yang baik dan pengetahuan tentang proses yang terjadi selama prosedur pembedahan dilaksanakan. Proses keperawatan intraoperatif terdiri dari proses keperawatan pemberian anestesi umum, proses keperawatan pemberian anestesi regional, proses keperawatan prosedur intrabedah dan proses keperawatan pengiriman ke ruang pemulihan.
PROSES KEPERAWATAN PEMBERIAN ANESTESI UMUM
Pengkajian
Pasien yang sudah mendapatkan premedikasi akan terlihat mengantuk, tetapi masih sadar. Pada kondisi ini pasien akan memperhatikan kondisi kamar bedah dan melihat petugas yang menggunakan pakaian yang tertutup, lampu operasi, dan sarana pembedahan yang akan menakutkan kondisi psikologis pasien. Penata anestesi sangat berperan dalam memberikan dukungan prainduksi agar pasien dapat kooperatif dengan intervensi anestesi.
Pemberian anestesi secara umum merupakan tanggung jawab dokter anestesi, sedangkan penata anestesi berperan mempersiapkan obat-obatan, alat, dan sarana pemberian anestesi. Kenyataan di Indonesia, pemberian anestesi secara keseluruhan dapat dilakukan oleh penata anestesi yang mendapat pelimpahan tanggung jawab dari ahli anestesi. Hal ini memberikan tantangan tersendiri bagi perawat anestesi agar dapat melakukan proses keperawatan secara komprehensif pada prosedur anestesi sejak menerima, mempersiapkan, dan memberikan prosedur anestesi umum.
Pemberina anestesi umumnya dilakukan pada saat pasien berada di atas meja bedah. Tetapi pada keadaan tertentu, dimana dalam pengaturan posisi bedah memerlukan anestesi lebih dahulu, maka pemberian anestesi dilakukan di atas brankar sebelum pasien dipindahkan ke meja bedah.
Pemberian anestesi umum akan membuat pasien kehilangan seluruh sensasi dan kesadarannya. Relaksasi oto mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pasien juga mengalami amnesia tentang seluruh proses yang terjadi selama pembedahan.
Diagnosa Keperawatan
Pada pemberian anestesi umum selama intrabedah, diagnosa keperawatan yang paling lazim ditemukan adalah: Risiko cedera intraoperatif berhubungan dengan prosedur anestesi umum.
Rencana Intervensi dan Kriteria Evaluasi
Risiko cedera intraoperatif berhubungan dengan prosedur anestesi umum
Tujuan: Risiko cedera intraoperatif sekunder dari intervensi anestesi umum tidak terjadi.
Kriteria evaluasi:
·      Pasien kooperatif terhadap intervensi anestesi.
·      Pasien dapat menjadi tidak sadar sesuai tahapan anestesi umum.
Intervensi
Rasional
Kaji ulang identitas pasien
Perawat ruang operasi memeriksa kembali identifikasi dan kardeks pasien; melihat kembali lembar persetujuan tindakan, riwayat kesehatan, hasil pemeriksaan fisik, dan berbagai hasil pemeriksaan; memastikan bahwa alat protese dan barang berharga telah dilepas; dan mermeriksa kembali rencana perawatan praoperatif yang berkaitan dengan rencana perawtan intraoperatif.
Siapkan obat-obatan pemberian anestesi umum.
Obat-obatan anestesi yang dipersiapkan meliputi obat pelemas otot danobat anestesi umum. Intubasi endotrakeal dilakukan setelah pemberian pelemas otot kerja singkat seperti suksinikolin (Anectine, Burroughs Wellcome) dan mivikurium (Mivicron, Burroughs Wellcome), atau obat yang bekerja lebih lama misalnya vekuronium (Norcuron, Organon) atau atrakurium (Tracium, Burroughs Wellcome). Anestesi umum dapat diinduksi dengan obat intravena misalnya metoheksital (Brevital sodium, Lilly), tiopental (Sodium Pentothal, Abbott), atau propofol (Gruendemann, 2006).
Siapkan alat-alat intubasi endotrakeal.
Intubasi endotrakeal digunkan untuk menjaga kepatenan jalan napas intraoperasi. Penata anestesi memeriksa kondisi lampu pada laringoskop dan apakah kondisi selang endotrakeal berfungsi optimal sebelum pemasangan dilakukan. Penata anestesi harus mempertimbangkan faktor umum dan kondisi penyulit dalam melakukan intubasi pada pemilihan persiapan sarana intubasi. Misalnya, pada anak kecil akan digunakan laringoskop dan selang endotrakeal yang ukurannya sesuai.
Siapkan sarana pemantauan dasar.
Pemilihan dan pemeliharaan peralatan anestesi dan perlengkapannya biasanya menjadi taggung jawab penata anestesi.
Alat dan sarana yang disikan merupakan sarana atau perangkat pemantauan (monitoring) dasar, meliputi:
·      Stetoskop preekordial
·      Pengukuran tekanan darah
·      Oksimetri pulsasi.
Siapkan obat dan peralatan emergensi.
Selain pemantau, peralatan darurat dasar, obat-obatan, dan protokol pengobatan juga harus tersedia. Defivrilator juga harus dipastikan berfungsi baik. Peralatan jalan napas meliputi laringoskop, selang endotrakeal, jalan napas oral, dan napas faringal. Selain itu, masker dan kantong resussitasi self-inflating (ambu type) adalah alat yang penting dan harus mudah diakses.
Lakukan pemasangan stetoskop prekordial, manset tekanan darah, monitor dasar, oksimetri pada jari, dan pertahankan kelancaran kateter IV.
·      Stetoskop prekordial dibiarkan menempel di dada pasien, menyalurkan informasi mengenai operasi mekanis jantung dan adanya bunyi napas secara kontinu. Perubahan yang dapat dideteksi mencakup bising jantung, aksentuasi bunyi jantung kedua, dan denyut jantung yang abnormal.
·      Perawt juga memasang manset tekanan darah. Manset tetap terpasang pada lengan pasien selama pembedahan berlangsung sehingga ahli anestesi dapat mengkaji tekana  darah pasien.
·      Pemasangan oksimetri dalam penilaian saturasi oksigen  pada jari memudahkan perawat anestesi mengobservasi status respirasi pasien.
·      Kelancaran keteter IV dapat menjadi prosedur dasar sebelum memberikan anestesi secara intravena.
Kaji faktor yang merugikan selama pemberian anestesi intraoperatif.
Tindakan penting yang dilakukan dengan mengkaji faktor-faktor penyulit selama anestesi, seperti adanya riwayat reaksi alerfi pada agen anestesiatau alergi terhadap banyak komponen, riwayat penyakit kardiaskuler dan paru, masalah jalan napas, dan faktor usia lanjut.
·      Riwayat alergi
Riwayat reaksi alergi pada agen anestesi atau alergi teerhadap banyka komponen harys diteliti dan diperjelas oleh pasien. Untuk menentukan kemungkinan timbulnya masalah besar, misalnya demam yang membahayakan dan asidosis akibat hipertermia maligna atau paralisis otot berkepanjangan yang dijumpai pada orang dengan pseudokolinesterase atipikal (Kee, 1996).
Evaluasi fungsi berbagai sistem utama tubuh, terutama sistem kardiovaskular dan pernapasan, merupakan parameter penting pada evaluasi pra-anestesi. Pasien yang mengaku alergi terhadap banyak obat mungkin sangat peka terhadap obat-obat yang melepaskan histamin, misalnya sebagian pelemas otot, narkotik, dan barbitturat.
Informasi mengenai eiwayat alerfi terhadap antibiotik, zat warna kontras, preparat indium, plester, dan lateks sangat penting. Riwayat reaksi hebat dan mendadak dari seseorang  setelah terpajan produk atau peraltan medis yang mengandung lateks harus dilaporkan. Etiologi pasti alerfi lateks tidak diketahui, tetapi protein larut air dari lateks tampaknya adalah alergen utamanya (Gruendemann, 2006).
·      Riwayat penyakit kardiovaskular dan paru.
Riwayat penyakit kardiovaskular dan paru harus mendapat persetujuan medis dari dokter jantung dan paru sebelum dijadwalkan menjalani prosedur bedaha elektif. Riwayat infark miokardium, angina, gagal jantung kongestif, hipertensi, diabetes, aritmia jantung, penyaktit vaskular perifer, merokok, penyakit paru obstruktif menahun, atau tandur pintas arteri koroner mungkin merupakan prediktor untuk morbiditas jantung pascaoperatif.
·      Masalah jalan napas
·      Masalah jalan napas yang kondisinya kurang optimal tanpa patologi jalan napas yang jelas, visualisasi glotis kadang-kadang sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Faktor predisposisi yang dapat menyulitkan intubasi adalah leher yang pendek dan berotot dengan gigi lengkap, rahang bawah yang mundur disetai sudut mandibula yang tumpul, menonjolnya gigi seri atas, penyempitan ruang antara sudut-sudut mandibula disertai palatum yang melengkung tinggi, serta peningkatan jarak dari gigi seri atas ke batas posterior ramus mandibula (Rob, 1968). Pengamatan klinis tambahan adalah apabila jarak antara dagu ke tulang rawan tiroid kurang dari 3 atau 4 cm (lebar dua jari tangan), maka visualisasi glotis diperkirakan akan sulit dilakukan (Rosenberg dan Rosenberg (1983) dikutip Gruendemannn (2006)).
·      Selama pemeriksaan praoperatif, pasien dengan riwayat apnea tidur obstruktif, sindrom kongenital, bedah leher atau wajah, stridor atau suara serak, nyeri, atau parestesia sewaktu meggerakkan leher, gigi tanggal atau goyang, atau perangkat gigi, misalnya kawat gigi mungkin menyulitkan kita saat membebaskan jalan napas. Catatan anestesi sebelumnya harus dikaji untuk mencari keterangan mengenai kualitas jalan napas, upaya laringoskopi, dan keberhasilan intubasi. Saat pemeriksaan fisik, ahli anestesi atau penata aanestesi harus secara teliti memeriksa leher, mandibula, dan struktur serta mobilitas mulut. Kesejajaran tiga sumbu (oral, faring, dan trakea) mempermudaha visualisasi laring. Kesejajaran sumbu-sumbu tersebut dilakukan dengan fleksi anterior spina servikalis bawah ditambah ekstensi sendi atlanto-oksipitalis (Rosenberg dan Rosenberg (1983) dalam Gruendemannn (2006)).
·      Faktor luar
·      Faktor usia lanjut dimana pasien sebelumnya menggunakan agen obat antihepertensi, antiparkison, dan psikotropik merupakan obat-obat yang paling sering menimbulkan reaksi simpang pada orang tua (Kee, 1996). Pasien berusia lanjut cenderung tentan terhadap obat-obat penekan susunan saraf pusat. Hal ini mungkin disebabkan oleh berkurangnya bahan-bahan sel dan penurunan fungsi sinaps secara progresif. Kecepatan hantaran diketahui menurun seiring dengan penuaan. Penuruan konsentrasi alveolus minimal (minimal alvolar concentration) yang memerlukan anestesi inhalasi pada orang tua mungkin disebabkan oleh penururna kepadatan sel di otak, penurunan konsumsi oksigen otak, dan penurunan aliran darah otak (Rob (1968) dalam Gruendemann, (2006)).
·      Korteks dan regio subkorteks yang bertanggung jawab menghasilkan neurotransmiter, mengalami penurunan kapasitas fungsional terbesar akibat penuaan. Walaupun meknsime peningkatan kepekaan orang tua terhadap obat anestesi dan sedatif masih belum jelas, tetapi proses degeneratif yang berperan dalam peningkatan kepekaan juga ikut berkontribusi tehadap tingginya risiko perburukan mental pascaoperatif yang dialami oleh lanjut usia (McLeskey (1992) dalam Gruendemann, (2006)).
·      Pada pasien usia lanjut, penurunan aliran darah hati yang paling diamati sebanding dengan penurunan keseluruhan curah jantung total. Penururnan aliran ini adalah penentu utama penurunan bersihan (clearance) obat plasma. Pada penuaan, konsentrasi dan fungsi enzim mikrosom hati diperkirakan tetap berada dalam tentang normal. Penurunan aliran darah dan berkurangnya kapasitas fungsisonal yang terjadi cenderung mempercepat penuaan hati sehingga berisiko tinggi mengalami kerusakan akibat hipoksemia, obat, atau transfusi darah. Penurunan aliran darah hati, kemungkinan defisit enzim, dan penurunan kemampuan ekskretorik ginjal dapat memperpanjang waktu parah eliminasi beta dan memperlama efek obat-obat yang diberikan (Kee, 1996).
·      Obat-obat pada sistem kardiovaskular, hati, dan ginjal akan memberikan dampak besar pada pemberian anestesi. Sebagai vcontoh, propranolol tanpaknya tidak mengubah kebutuhan anestesi pasien dengan insufisiensi ginjal, tetapi obat ini dapat menimbulkan agitasi, kebingungan, tremor, minoklonus, atau kejang. Efek hipotensi dan bradikardi darri propranolol dan anestesi umum yang muncul mungkin bersifat adiktif. Verapamil, suatu penghambatsaluran kalsium, diketahui dapat menurunkan kebutuhan aanestesi sebesar 25% dan memperkuat pelemas otot depolarisasi dan nondepolarisasi. Tetapi jangka panjang dengan bretilium dapat menyebabkan hipersensitivitas terhadap obat golongan vasopresor (McLeskey (1992) dalam Gruendemann, (2006)). Verapamil maupun nifedipine diketahi memperlihatkan kadar digoksin serum yang tinngi (sampai 30%), sehingga tidak saja menurunkan kebutuhan digoksin, tetapi juga membuat pasien semakin berisiko menagalami toksisitas (Chelly et al., (1987) dalam Gruendemann, (2006)). Aliran darah yang lamaban dan kongesti kronis hati yang berkaitan dengan gagal jantun kronik memperlambat metabolisme obat-obat misalnya teofili. Pada pasien dengan keadaan tersebut, waktu paruh teofilin dalam serum adalah sekitar 23 jam, dibandingkan dengan nilai normal sebesar 7 jam (Gruendemann, 2006).
·      Kaji adanya kelainan pada prosedur dagnostik.
·      Prosedur untuk menilai adanya gangguan pada organ-organ vital dapat mempersulit jalannya anestesi.
·      Prosedur penilaian laboratorium dan dagnostik harus dilakukan seiring dengan adanya riwayat proses penyakit dan medikasi yang dikonsumsi. Beberapa institusi menetapkan pemeriksaan prosedur standar pada pasien usia di atas 40 tahun, meliputi pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, urinalisis, dan EKG.
·      EKG
Pada populasi pasien rawat inap, EKG praoperatif yang dijalani oleh kelompok tertentu dapt memberikan informasi yang menyempunakan perencanaan dan hail akhir keseluruhan pada pasien pria berusia di atas 40 tahun; wanita berusia di atas 50 tahun; pasien yang menderita penyakit arteri koroner misalnya hipertensi, diabetes, atau penyakit pembuluh darah perifer; pasien dengan penyakit yang mungkin berefek pada jantung misalnya kegaansan, penyakit kolagen vaskular, dan proses infeksi serius. Kelompok lain yang berisiko tinggi adalah pasien yang mendapat obat seperti fenotiazin dan antidepresan, mereka yang mengalami ketidakseimbangan elektrolit, atau menjalani bedah intratoraks, intraperitoneum, aorta, saraf elektif, atau bedah darurat serius (Schwartz, 2000).
·      Hemoglobin
Kadar hemoglobin yang aman bagi pasien direkomendasikan lebih dari 10 g/dl. Tetapi nilai hemoglobin yang lebih rendah dari 10g/dl atau anemia biasnya masih bisa ditoleransi pada orang yang sehat karena berbagai mekanisme kompensasi masih aktif bekerja. Mekanisme tersebut antara lain peningkatan curah jantung, penurunan resistensi sistemik, dan peningkatan rasio ekstraksi oksigen. Namun, keadekuatan mekanisme tersebut dalam mengatasi stres yang berlebihan saat pembedahan atau pendarahan mendadak yang banyak, masih dipertanyakan. Pembahasana akan kurang kontroversial jika pemerian darah dan produk darah selama pembedahan aman 100%. Penitng diingat bahwa anemia menyebabkan penurunan cadangan darah dan deplesi mekanisme kompensasi. Dengan demikian, nilaia hemoglobin praoperatif yang optimal adalah nilai yang memiliki cadangan cukup untuk menghadapi stres selama prosedur pembedahan.
·      Urine rutin
Pemeriksaan urine rutin sperti berat jenis urine berguna untuk mengetahui status hidrasi pasien. Adanya glukosa dalam urine jelas mengindikasikan kemungkinan adanya diabetes dan hipovolemia akibat diuresis osmotik. Proteinuria atau hematuria mengindikasikan adanya penyakit ginjal yang serius.
·      Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi praoperatif diprlukan untuk identifikasi pasien yang berisiko tinggi atau mendasari penilaian tingkat keparahan perubhan paru intraoperatif dan pascaoperatif.
Beri dukungan praanestesi
Hubungan emosional yang baaik antara penata anestesi dan pasien akan memegaruhi penerimaan anestesi.
Lakukan pemberian anestesi secara intravena.
Pemberian anestesi intravena biasanya dilakukan penata anestesi dengan sepengetahuan ahliaanestesi. Pemberian suksinikolin (succinylcholine) secara intravena sebagai obat intravena pertama bertujuan untuk menghambat saraf dan menyebabkan paralisis pita suara sementara dan otot pernapasan selama selang endotrakeal terpasang.
Lakukan pemasangan selang endotrakeal, pemasangan oral airway, dan kaji efektivitas jalan napas.
·      Pemasangan selang endotrakeal biasanya dilakukan ahli anestesi atau penta anestesi dengan diketahui oleh ahli anestesi. Selang endotrakeal bertujuan untuk tetap menjaga kepatenan jalan napas, sera mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi dan komplikasi pernapasan lainnya akibat depresi pada brokus efek dari anestesi.
·      Penata anestesi akan membantu melakukan peenekanan tulang rawan krikoid (perasat Sellick) untuk menyumbat esofagus pada saat perasat endotrakeal dilakukan.
·      Pemasangan oral airway akan menjaga kepatenan jalur napas dan memudahkan penata anestesi untuk memonitor kepatenan jalan napas.
Lakukan pemberian napas bantuan, pemberian oksigen, pengisapan, dan pemberian anestesi inhalasi.
Ahli anestesi atau penata anestesi akan memberikan ventilasi bantuan sampai efek suksinikkolin hilang dan pasien kembali bernapas secara spontan. Mulai saat itu, gas atau uap anestesi biasanya diberikan secara inhalasi melalui selang endotrakeal. Beberapa obat-obatan yang sering digunakan adalah halotan, supran, dan foran.
Lakukan pemantauan status kardiovaskular dan respirasi selama pembedahan.
Risiko terbesar dari anestesi umum adalah efek samping obat-obatan anestesi, termasuk di antaranya depresi, iritabilitas kardiovaskular dan depresi pernapasan. Kontrol status kardiovaskular dan repirasi dapt mendeteksi risiko kegawatan sedini mungkin.
Lakukan pemberian cairan dan transfusi sesuai kondisi dan lamanya pembedahan sera kontrol keluaran urine.
Dilakukan pada prosedur pembedahan yang berlangsung lama atau apabila dilakukan antisipasi terhadap perubahan volume cairan yang besar. Pengukuran pengeluaran cairan dan darah secara cermat serta perkiraan darah yang terdapat di dalam spons menjadi tugas bersama ahli anestesi dan perawat sirkulasi. Apabila pasien adalah anak-anak, penata anestesi sirkulasi harus menimbang spons operasi (1 g setara dengan 1 ml darah) untuk menentukan pengeluaran darah secara lebih akurat. Karena volume darah anak lebih sedikit, maka perawat harus mengingatkan ahli anestesi mengenai darah yang keluar dalm interval tertentu selama pembedahan.
Lakukan pemberian obat-obat pemulih anestesi setelah pembedahan selesai.
Pemberian obat-obat pemulih anestesi biasanya dilakukan ahli atau penata anestesi dengan diketahui oleh ahli anestesi.
Lakukan pembersihan jalan napas setelah pembedahan selesai dilaksanakan.
Jalan napas dibersihkan dengan pengisapan, dan setelah refleks laring dan faring pulih maka dilakukan ekstubasi. Penata anestesi tetap berada di kamar operasi dengan ahli anestesi, sampai pasien siap dipindahkan ke ruang pemulihan. Secara umum, peralatan dan instrumen jangan dipindahkan dari ruangan sampai pasien stabil dan siap dipindahkan.

No comments:

Post a Comment

komentar

Widget Recent Comments by dedy ari pebriana