Thursday, August 1, 2013

CHRONIC KIDNEY DESEASE/GAGAL GINJAL KRONIS

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup.
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem perkemihan.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes).
B.     Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah mengenai retensi urine ini adalah :
1.      Untuk mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan gagal ginjal kronis.
2.      Mengetahui konsep medis pada klien dengan gagal ginjal kronis.
BAB II
PEMBAHASAN

A.                PENGERTIAN

       Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626)
        Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
        Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).  (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)
         Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812)

B.                 ETIOLOGI

            Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes). (Doenges, 1999; 626)
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
·           Infeksi misalnya pielonefritis kronik
·           Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
·           Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
·           Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
·           Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
·           Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
·           Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
·           Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

C.                PATOFISIOLOGI

            Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368)
            Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Gagal ginjal kronik terjadi setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan masa nefron ginjal. Keadaan ini mencakup penyakit parenkim ginjal difus bilateral, juga lesi obstruksi pada traktus urinarius.Mula-mula terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama menyerang glomerulus (Glumerolunepritis), yang menyerang tubulus gijal (Pyelonepritis atau penakit polikistik) dan yang mengganggu perfusi fungsi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis).
Kegagalan ginjal ini bisa terjadi karena serangan penyakit dengan stadium yang berbeda-beda :
Stadium I
Penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinine serum dan kadar BUN normal dan pasien asimtomatik. Homeostsis terpelihara. Tidak ada keluhan. Cadangan ginjal residu 40 % dari normal.
Stadium II
Insufisiensi Ginjal. Penurunan kemampuan memelihara homeotasis, Azotemia ringan, anemi. Tidak mampu memekatkan urine dan menyimpan air, Fungsi ginjal residu 15-40 % dari normal, GFR menurun menjadi 20 ml/menit. (normal : 100-120 ml/menit). Lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak (GFR besarnya 25% dari normal), kadar BUN meningkat, kreatinine serum meningkat melebihi kadar normal. Dan gejala yang timbul nokturia dan poliuria (akibat kegagalan pemekatan urine)
Stadium III
Payah ginjal stadium akhir. Kerusakan massa nefron sekitar 90% (nilai GFR 10% dari normal). BUN meningkat, klieren kreatinin 5- 10 ml/menit. Pasien oliguria. Gejala lebih parah karena ginjal tak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Azotemia dan anemia lebih berat, Nokturia, Gangguan cairan dan elektrolit, kesulitan dalam beraktivitas.

Stadium IV
Tidak terjadi homeotasis, Keluhan pada semua sistem, Fungsi ginjal residu kurang dari 5 % dari normal.

D.                MANIFESTASI KLINIS

1.      Manifestasi klinik  antara lain (Long, 1996 : 369):
a.       Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah tersinggung, depresi
b.      Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
2.      Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -  angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).
3.      Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
a.       Sistem kardiovaskuler
·         Hipertensi
·         Pitting edema
·         Edema periorbital
·         Pembesaran vena leher
·         Friction sub pericardial
b.      Sistem Pulmoner
·         Krekel
·         Nafas dangkal
·         Kusmaull
·         Sputum kental dan liat
c.       Sistem gastrointestinal
·         Anoreksia, mual dan muntah
·         Perdarahan saluran GI
·         Ulserasi dan pardarahan mulut
·         Nafas berbau amonia
d.      Sistem muskuloskeletal
·         Kram otot
·         Kehilangan kekuatan otot
·         Fraktur tulang
e.       Sistem Integumen
·         Warna kulit abu-abu mengkilat
·         Pruritis
·         Kulit kering bersisik
·         Ekimosis
·         Kuku tipis dan rapuh
·         Rambut tipis dan kasar
f.        Sistem Reproduksi
·         Amenore
·         Atrofi testis

E.                 PEMERIKSAAN PENUNJANG

            Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1.      Pemeriksaan laboratorium
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem dan membantu menetapkan etiologi.
2.      Pemeriksaan USG
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
3.      Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit

F.                 PENCEGAHAN

            Obstruksi dan infeksi saluran kemih dan penyakit hipertensi sangat lumrah dan sering kali tidak menimbulkan gejala yang membawa kerusakan dan kegagalan ginjal. Penurunan kejadian yang sangat mencolok adalah berkat peningkatan perhatian terhadap peningkatan kesehatan. Pemeriksaan tahunan termasuk tekanan darah dan pemeriksaan urinalisis.
            Pemeriksaan kesehatan umum dapat menurunkan jumlah individu yang menjadi insufisiensi sampai menjadi kegagalan ginjal. Perawatan ditujukan kepada pengobatan masalah medis dengan sempurna dan mengawasi status kesehatan orang pada waktu mengalami stress (infeksi, kehamilan). (Barbara C Long, 2001)

G.                PENATALAKSANAAN

1.      Dialisis (cuci darah)
2.      Obat-obatan: antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih)
3.      Diit rendah protein dan tinggi karbohidrat
4.      Transfusi darah
5.      Transplantasi ginjal








BAB III
PENUTUP
 
A.    Kesimpulan
Proses menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem perkemihan.
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Penyebab GGK termasuk glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vaskuler (nefrosklerosis), proses obstruksi (kalkuli), penyakit kolagen (luris sutemik), agen nefrotik (amino glikosida), penyakit endokrin (diabetes).


B.     Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan yaitu hendaknya kita senantiasa menjaga kesehatan ginjal kita mulai dari sedini mungkin sehingga terhindar dari penyakti gagal ginjal kronis ataupun akut
 
 
 
 
 
 


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC

Doenges E,  Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan

Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI











H.            PATHWAYS
 


BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Pembesaran prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai  benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks.
Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis  protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat. Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein  growth factor dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein  growth factor dikenal sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Terapi yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien, komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap daerah.
Berdasarkan hal tersebut kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit Hyperplasia Prostat Benigna dan dapat mengaplikasikan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien.

B.   Tujuan
1.    Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan yaitu Hyperplasia Prostat Benigna.
2.    Tujuan khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
a.    Definisi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
b.    Etiologi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
c.    Faktor Predisposisi Hyperplasia Prostat Benigna
d.    Patofisiologi penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
e.    Tanda dan gejala Hyperplasia Prostat Benigna
f.     Pemeriksaan Penunjang penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
g.    Penatalaksanaan penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
h.    Komplikasi Penyakit Hyperplasia Prostat Benigna







BAB II
LANDASAN TEORI


A.    Definisi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior.  Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna (Purnomo, 2003).
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan kondisi patologis dimana terjadi pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).

B.   Etiologi
Menurut Purnomo (2003), hingga sekarang ini masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah :
1.    Teori DHT
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah dibentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesa protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim reduktase dan jumlah RA lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2.    Keseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen testosteron semakin meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah RA, dan menurunkan jumlah kematian sel prostat. Hal itu membuat sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih besar.
3.    Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dari pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estrandiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4.    Berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis)
Program apoptosis pada sel prostat merupakan mekanisme fisiologis untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga massa prostat bertambah. estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFß berperan dalam proses apoptosis.
5.    Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal stem sel yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen. Sehingga jika hingga hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai tidak tepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadinya produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

C.   Faktor Predisposisi
1.    Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2.    Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
3.    Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.

D.   Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh klien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Price, 1996).
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Price, 1996).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1. Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot otot polos prostat dibanding dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.

E.   Tanda dan gejala
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1.    Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Gejala iritatif yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan untuk membantu diagnosis dan menetukan tingkat beratnya penyakit, di antaranya adalah skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen
2.    Keluhan pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat BPH pada saluran kemih atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri punggung, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.
3.    Gejala diluar saluran kemih
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh klien merupakan pertanda inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan tonus sfingter ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan prostat antara lain kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.

F.    Pemeriksaan Penunjang
1.    Laboratorium : Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultru urin berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan. Fisiologi ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adnaya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli neurogenik. Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA.
2.    Radiologi meliputi intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograde, USG, CT-Scanning, cytoscopy, dan foto polos abdomen. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH
3.    Pencitraan : Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yanng penuh terisi urin yang merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV dapat menerangkan kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS dimaksudkan untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan BPH. Disamping itu ultrasonografi transabdominal mampu mendeteksi adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
4.    Prostatektomi Retro Pubis: Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
5.    Prostatektomi parineal yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum
6.    Pemeriksaan lain : Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur
Ø  Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin in dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
Ø  Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

G.   Penatalaksanaan
1.    Terapi medikamentosa
a.    Penghambat andrenergik a, misalnya prazosin, doxazosin, alfluzosin atau a 1a (tamsulosin).
b.    Penghambat enzim 5-a-reduktase, misalnya finasteride (Poscar)
c.    Fitoterapi, misalnya eviprostat
2.    Terapi bedah : Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah yaitu :
a.    Retensio urin berulang
b.    Hematuria
c.    Tanda penurunan fungsi ginjal
d.    Infeksi saluran kencing berulang
e.    Tanda-tanda obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.
f.     Ada batu saluran kemih.



Ada beberapa jenis terapi bedah yang sering digunakan pada pasien Hyperplasia Prostat Benigna, antara lain :
a.    Prostatektom
Ada berbagai macam prostatektjomi yang dapat dilakukan yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
Ø  Prostatektomi Supra pubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak dibanding metode yang lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis, serta pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini adalah secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih luas, memungkinkan eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
Ø  Prostatektomi  Perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta  bidang operatif terbatas.
Ø  Prostatektomi retropubik adalah suatu teknik yang lebih  umum dibanding pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis  dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta  kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit. 
b.    Insisi Prostat Transuretral ( TUIP )
 Yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan  di klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
c.    TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi uretra pars prostatika  (Suddarth, Brunner, 2002).
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat berkemih dengan lancar.
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.

H.   Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan, pembentukan bekuan, obstruksi kateter serta disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun aktifitas seksual dapat dilakukan kembali setelah 6-8 minggu karena fossa prostatik sudah sembuh. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. Selain itu vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis.
 Setelah prostatektomi total (biasanya untuk kanker)  hampir selalu terjadi impotensi. Bagi pasien yang tak mau kehilangan aktifitas seksualnya, implant prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat penis menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.









BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Sampai sekarang ini masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH, yaitu : Teori DHT, keseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi stroma-epitel, berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis), teori sel stem.
1.    Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2.    Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
3.    Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.






DAFTAR PUSTAKA

 Johnson, M., Maas, M., & Moorhead S. (2005). Nursing Intervention Classificatian (NIC). Second Ed. New York : Mosby.
Furqan. (2003). Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap: Pertama Kali dan Berulang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Hinchliff, S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.
Johnson, M., Maas, M., & Moorhead S. (2005). Nursing Outcomes Classification (NOC). New York: Mosby.
McCloskey, J. & Gloria M. B. (2000). Nursing Outcome Classificatian (NOC). Second Ed. New York : Mosby.
McSloskey, JC., Bulechek, GM. (2000). Nursing Intervention Classification (NIC). New York: Mosby.
NANDA. (2011). Nursing Diagnoses; Definitions & Classification. Philadelphia: Nanda International.
Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M. (1996). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses penyakit, Edisi empat. Jakarta: EGC.
Purnomo, B.P. (2003). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC.
Suddarth, Brunner. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Edisi VIII. Jakarta: EGC.

komentar

Widget Recent Comments by dedy ari pebriana