BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pembesaran
prostat benigna atau lebih dikenal sebagai BPH sering diketemukan pada pria
yang menapak usia lanjut. Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia
sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel
stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini
dapat dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan
meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.
Meskipun
jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan dan mengganggu
aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau
benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada
leher buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction
(BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat
disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama
kelamaan dapat menimbulkan perubahan struk-tur buli-buli maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah.
Keluhan
yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract
symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi
(storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,
pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak
puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan
antara BPH dengan LUTS sangat kompleks.
Tidak
semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan
miksi disebabkan oleh BPH. Banyak sekali faktor yang diduga berperan dalam
proliferasi/pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh
pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih
berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain
(estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan
diduga berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak
langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk
mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein inilah yang
berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat.
Fakor-faktor yang mampu meningkatkan sintesis protein growth factor
dikenal sebagai faktor ekstrinsik sedangkan protein growth factor dikenal
sebagai factor intrinsik yang menyebabkan hiperplasia kelenjar prostat.
Terapi
yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien. Di berbagai
daerah di Indonesia kemampuan melakukan diagnosis dan modalitas terapi pasien
BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya manusia di tiap-tiap
daerah.
Berdasarkan
hal tersebut kelompok tertarik untuk membahas tentang penyakit Hyperplasia
Prostat Benigna dan dapat mengaplikasikan dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada klien.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan yaitu Hyperplasia
Prostat Benigna.
2. Tujuan
khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
a. Definisi
penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
b. Etiologi
penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
c. Faktor
Predisposisi Hyperplasia Prostat Benigna
d. Patofisiologi
penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
e. Tanda dan
gejala Hyperplasia Prostat Benigna
f. Pemeriksaan
Penunjang penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
g. Penatalaksanaan
penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
h. Komplikasi
Penyakit Hyperplasia Prostat Benigna
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Definisi
Kelenjar
prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat adalah
jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di inferior
dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan
uretra posterior + 2,5 cm. Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum
puboprostatikum dan sebelah inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat
bagian posterior bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir
pada verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter
uretra eksterna (Purnomo,
2003).
Benigna
Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
yang dapat menyebabkan obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan berlebihan yang tidak
ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat memperbanyak diri
melebihi kondisi normal, biasanya laki-laki berusia di atas 50 tahun.
Benigna
Prostat Hiperplasia merupakan kondisi patologis dimana terjadi pembesaran
kelenjar prostat, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin dengan menutupi orifisium uretra (Smeltzer & Bare, 2002).
B.
Etiologi
Menurut Purnomo (2003), hingga sekarang ini masih belum diketahui
secara pasti penyebab terjadinya BPH. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH
erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses
aging (menjadi tua). beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
BPH adalah :
1. Teori DHT
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh
enzim reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah dibentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks
DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesa protein growth factor
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian, aktivitas
enzim reduktase dan jumlah RA lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel
lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Keseimbangan antara
estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen testosteron
semakin meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan
dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah RA, dan menurunkan jumlah kematian sel prostat. Hal itu membuat sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat
menjadi lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dari pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estrandiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya kematian
sel prostat (apoptosis)
Program apoptosis pada sel prostat merupakan mekanisme fisiologis
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat sehingga massa prostat bertambah. estrogen diduga
mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFß
berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal stem sel yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung
pada keberadaan hormon androgen. Sehingga jika hingga hormon ini kadarnya
menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai tidak tepatnya
aktivitas sel stem sehingga terjadinya produksi yang berlebihan sel stroma
maupun sel epitel.
C. Faktor Predisposisi
1.
Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2.
Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
3.
Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain
golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
D.
Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan
penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran urin. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk dapat mengeluarkan urin,
buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh klien dirasakan
sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus (Price,
1996).
Tekanan intravesikal yang tinggi
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara
ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin
dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan
akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH
tidak hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra
posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma
prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus (Price,
1996).
Pada BPH terjadi rasio peningkatan
komponen stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal rasio stroma
dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1.
Hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan tonus otot otot polos prostat
dibanding dengan prostat normal. Dalam hal ini massa prostat yang menyebabkan
obstruksi komponen statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen
dinamik sebagai penyebab obstruksi prostat.
E.
Tanda
dan gejala
Obstruksi
prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian
bawah (LUTS)
Gejala iritatif yaitu sering miksi
(frekuensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria).
Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang
yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Keluhan ini biasanya disusun dalam
bentuk skor simtom. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang dapat digunakan
untuk membantu diagnosis dan menetukan tingkat beratnya penyakit, di antaranya
adalah skor internasional gejala-gejala prostat WHO (International Prostate
Symptom Score, IPSS) dan skor Madsen Iversen
2. Keluhan pada saluran kemih bagian
atas
Keluhan akibat BPH pada saluran
kemih atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri punggung, benjolan di
pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan
tanda dari infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pada
pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba
massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-kadang
didapatkan urin yang selalu menetes tanpa disadari oleh klien merupakan
pertanda inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan tonus sfingter
ani/refleks bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli
neurogenik, mukosa rektum, dan keadaan prostat antara lain kemungkinan adanya
nodul, krepitasi, konsistensi prostat, simetri antar lobus dan batas prostat.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : Sedimen urin diperiksa untuk mencari
kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih.
Pemeriksaan kultru urin berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan
infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa
antimikroba yang diujikan. Fisiologi ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan
adanya penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah
dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adnaya penyakit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli neurogenik. Jika dicurigai
adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA.
2. Radiologi meliputi intravena
pylografi, BNO, sistogram, retrograde, USG, CT-Scanning, cytoscopy, dan foto
polos abdomen. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk memperkirakan
volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli-buli dan volume residu urin, dan
mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak dengan BPH
3. Pencitraan : Foto polos perut berguna untuk
mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan
kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yanng penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari suatu retensi urin. Pemeriksaan PIV dapat menerangkan
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal atau TRUS dimaksudkan
untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya kemungkinan BPH.
Disamping itu ultrasonografi transabdominal mampu mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
4. Prostatektomi Retro Pubis: Pembuatan
insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan
jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula
prostat.
5. Prostatektomi parineal yaitu
pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum
6. Pemeriksaan lain : Pemeriksaan derajat obstruksi
prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur
Ø Residual urin yaitu jumlah sisa urin
setelah miksi. Sisa urin in dapat dihitung dengan cara melakukan kateterisasi
setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
Ø Pancaran urin atau flow rate
dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi
dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang
menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
G. Penatalaksanaan
1.
Terapi
medikamentosa
a.
Penghambat andrenergik a, misalnya
prazosin, doxazosin, alfluzosin atau a 1a (tamsulosin).
b.
Penghambat enzim 5-a-reduktase,
misalnya finasteride (Poscar)
c.
Fitoterapi,
misalnya eviprostat
2. Terapi bedah : Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi. Indikasi
terapi bedah yaitu :
a. Retensio urin berulang
b. Hematuria
c. Tanda penurunan fungsi ginjal
d. Infeksi saluran kencing berulang
e. Tanda-tanda
obstruksi berat yaitu divertikel,hidroureter, dan hidronefrosis.
f. Ada batu saluran kemih.
Ada beberapa jenis terapi bedah yang
sering digunakan pada pasien Hyperplasia Prostat Benigna, antara lain :
a. Prostatektom
Ada berbagai macam prostatektjomi yang dapat
dilakukan yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan antara lain :
Ø Prostatektomi
Supra pubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas. Pendekatan ini dilakukan untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan
beberapa komplikasi dapat terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak
dibanding metode yang lain. Kerugian lainnya adalah insisi abdomen akan
disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor, seperti kontrol
perdarahan lebih sulit, urin dapat bocor disekitar tuba suprapubis, serta
pemulihan lebih lama dan tidak nyaman. Keuntungan yang lain dari metode ini
adalah secara teknis sederhana, memberika area eksplorasi lebih luas, memungkinkan
eksplorasi untuk nodus limfe kankerosa, pengangkatan kelenjar pengobstruksi
lebih komplit, serta pengobatan lesi kandung kemih yang berkaitan.
Ø Prostatektomi
Perineal adalah
mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih praktis
dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Keuntungan
yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung, drainage oleh bantuan
gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah penglihatan
langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi
pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan
ringkih. Pada pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi
dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau
cedera rectal dapat mungkin terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah
kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter eksternal serta bidang
operatif terbatas.
Ø Prostatektomi
retropubik adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun
darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah labih mudah untuk
dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis. Kelemahan lainnya
adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih yang berkaitan serta
insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat meningkat juga osteitis pubis.
Keuntungan yang lain adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih sedikit.
b. Insisi Prostat
Transuretral ( TUIP )
Yaitu
suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui
uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk
mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi kontriksi uretral. Cara
ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang )
dan efektif dalam mengobati banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di
klinik rawat jalan dan mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara
lainnya.
c.
TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah
suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun
spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat
morbiditas minimal.
TURP merupakan
operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap
potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi
digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah
dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi
uretra pars prostatika (Suddarth,
Brunner, 2002).
Setelah
dilakukan TURP, dipasang kateter Foley tiga saluran no. 24 yang dilengkapi
balon 30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kanding kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar
bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih.
Kateter dingkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar.
TURP masih
merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%), impotensi
(4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya penyakit
ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
H.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan,
pembentukan bekuan, obstruksi kateter serta disfungsi seksual tergantung dari
jenis pembedahan. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan impotensi meskipun
aktifitas seksual dapat dilakukan kembali setelah 6-8 minggu karena fossa
prostatik sudah sembuh. Komplikasi yang lain yaitu perubahan anatomis pada
uretra posterior menyebabkan ejakulasi retrogard yaitu setelah ejakulasi cairan
seminal mengalir kedalam kandung kemih dan diekskresikan bersama urin. Selain
itu vasektomi mungkin dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi dari uretra
prostatik melalui vas deference dan ke dalam epidedemis.
Setelah prostatektomi total (biasanya untuk kanker)
hampir selalu terjadi impotensi. Bagi pasien yang tak mau kehilangan aktifitas
seksualnya, implant prostetik penis mungkin digunakan untuk membuat penis
menjadi kaku guna keperluan hubungan seksual.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan
obstruksi dan ristriksi pada jalan urine (uretra). Sampai sekarang ini masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi
tua). Ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH, yaitu
: Teori DHT, keseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi stroma-epitel,
berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis), teori sel stem.
1.
Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah berlebihan.
2.
Massa prostat tiba-tiba membesar yaitu setelah melakukan aktivitas
seksual atau mengalami infeksi prostat akut.
3.
Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi
otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher buli-buli, antara lain
golongan antikolinergik atau adrenergik alfa.
Pembesaran
prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat aliran
urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravaskuler. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan
tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik
buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli.
DAFTAR PUSTAKA
Johnson, M., Maas, M., &
Moorhead S. (2005). Nursing Intervention Classificatian (NIC). Second Ed. New
York : Mosby.
Furqan. (2003). Evaluasi Biakan
Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter Menetap: Pertama Kali dan
Berulang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Hinchliff,
S. (1999). Kamus Keperawatan. Jakarta : EGC.
Johnson, M., Maas, M., & Moorhead
S. (2005). Nursing Outcomes Classification (NOC). New York: Mosby.
McCloskey,
J. & Gloria M. B. (2000). Nursing Outcome Classificatian (NOC). Second Ed.
New York : Mosby.
McSloskey,
JC., Bulechek, GM. (2000). Nursing Intervention Classification (NIC). New
York: Mosby.
NANDA.
(2011). Nursing Diagnoses; Definitions & Classification. Philadelphia:
Nanda International.
Price,
Sylvia A and Willson, Lorraine M. (1996). Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses
penyakit, Edisi
empat. Jakarta: EGC.
Purnomo,
B.P. (2003). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan
Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2 Jakarta, EGC.
Suddarth,
Brunner. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 2. Edisi
VIII. Jakarta: EGC.